Sunday 2 December 2012

Latihan



Temen : "Mbak senyum dikit to!"
Aku     : (menarik bibir ke samping kiri-kanan dengan paksa)
Temen : "Yang bagus gitu loh, senyumnya yang alami biar keliatan bahagia. Cuma suruh senyum aja susah, bla bla bla..."
Aku     : (diem aja)
Temen : "Iiihh dibilangin juga. Mukamu itu kebanyakan diem tanpa ekspresi! Latihan senyum dong, biar tetep bisa senyum kapan aja"
Aku     : (tersenyum lebar, lebih terpaksa)

Itu sepenggal percakapan yang terjadi dulu waktu sekolah ketika mau foto bersama. Sebenarnya aku sudah sering tersenyum. Bahkan senyum senyum sendiri, hehehe :p. Emang sih dulu susah banget buat senyum yang alami (alias gak kepaksa). Padahal gerakan senyum kan sepele banget, tinggal tarik bibir ke kiri dan ke kanan bebarengan.
Akhirnya aku menuruti temanku untuk latihan senyum. Yup, Latihan Senyum! senyum aja kok latihan ya?? Tapi tetep aja temenku bilang kalau senyumku itu lebih banyak senyum kepaksa... Huh, nyebelin gak? Padahal udah bela-belain cengar cengir di depan kaca kayak orang gak waras -_-
Awalnya sih kesel juga, tapi ternyata bener juga. Dulu senyumku banyak yang kepaksa! Sampe temenku tanya "Apa sih hal yang bisa bikin kamu tersenyum spontan saat melihat, mendengar atau melakukan sesuatu?" dan jawabanku adalah... meringis sambil garuk-garuk kepala yang gak gatal karena gak tau.
Dan sekarang, aku sudah sering tersenyum (yang ini tanpa kepaksa). Tapi, waktu aku liat foto temenku yang sekarang, aku jadi berpikir ulang. Kenapa senyumku gak bisa sealami dia? Kenapa gak semanis dia? Dari foto itu aja aku udah tau kalo dia bahagia, bahagia sekali mungkin. Dan aku belum pernah seperti itu ternyata.
Walau sudah bisa sering tersenyum, tapi tetap saja aku masih sering tersenyum dengan terpaksa, demi kesopanan, biar gak dianggep jutek, demi menyenangkan lawan biacara, biar gak diceramahin temenku lagi (kalo ketemu dia lagi sih). Jadi sepertinya aku harus latihan lagi. Latihan tersenyum, agar orang lain juga bisa merasakan kebahagiaanku. Sama seperti aku merasakan kebahagiaan ketika melihat senyum bahagia temanku.


Thanks to my friend who has taught me how to smile with happiness :)

Saturday 1 December 2012

Bintang Kecil



Keberadaanku di langit memang sudah ditetapkan oleh takdir. Dan terkadang langit menunjukkan kuasanya ataasku dengan matahari, bulan dan awannya. Aku hanyalah bintang kecil di salah satu sudut langit yang tak bertepi. mencoba mengerjab sekuat mungkin agar keberadaanku terlihat.
Aku hanyalah bintang yang setiap malam berharap ada yang menantiku dari bumi, enta hanya sekedar melihatku atau untuk menceritakan keluh kesah dan harapan-harapan mereka.
Aku hanyalah bintang yang setiap malam melihat pantulan cahayaku sendiri di atas permukaan samudera. Sebuah cermin agung milik alam. Meski tak jarang permukaaanya beriak atau bergelombang. Tapi aku menyukainya. Setidaknya jika tak ada yang mengagumi cahayaku, aku tetap bisa melihat dan mengagumi cahayaku sendiri.
Aku memandang samudera setiap malam. entah sudah berapa waktu yang telah aku habiskan. Mendengar desah ombaknya yang dibawa angin. melihat seberapa keras usaha gelombangnya meraihku namun tak pernah bisa.
Aku hanyalah bintang yang tak pernah mengendalikan samudera, seperti halnya bulan, atau matahari. Aku hanya bisa memandangnyadari langit. mengerjab agar cahayaku sanggup menembus kedalaman airnya yang dingin.
Aku hanyalah bintng kecil di luasnya hamparan langit yang tak terbatas. Aku hanyalah bintag yang punya takdir sendiri. Aku bintng yang sungguh berbeda dengan matahari, langit, bulan dan samudera.
Karena masing-masing dari kami punya takdir sendiri-sendiri dan karena takdir telah menetapkan kami untuk tak pernah bisa bersama.

Sahabat



Kalian ada di sisiku
Dengan segala kelemahanku dan kelemahan kalian
Dengan segala kelebihanku dan kelebihan kalian
Kalian ada di sisiku
Bukan hanya demi adaku,
Tapi demi keberadaanku dan kalian saat kita bersama
Kalian ada di sisiku
Membuat dari susah payah hidupku,
Bukan menjadi gubuk tua tapi menjadi sebuah istana yang indah
Kalian ada disisiku
Untuk berbuat melebihi apapun agar hidupku lebih baik
Dan genggamlah tanganku, lalu melangkah bersamaku hadapi dunia
Karena kita adalah sahabat
Karena kita masing-masing adalah malaikat bersayap satu,
yang hanya bisa terbang jika saling berpegangan erat

Langit



Aku menyukai langit.
Karena bagiku langit adalah sebuah kitab. Sebuah kitab, tergantung kau bisa membacanya atau tidak. Sebuah kitab karena disana aku bisa tahu betapa agung Tuhan yang telah menciptanya.
Sebuah kitab, karena disana aku bisa mengagumi rahasia dibalik awannya, rahasia dibalik bulan dan mentarinya, serta rahasia dibalik nebula dan galaksinya.
Rahasia-rahasia yang akan tetap abadi terpatri, terhampar di keluasannya yang tak terbatas dengan begitu menakjubkan.

Thursday 29 November 2012

Autumn



Aku menyukai musim gugur.
Karena saat itulah aku bisa melihat daun-daun berubah warna menjadi coklat kemerahan. Klasik, indah, menenangkan.
Dan karena saat itulah aku bisa melihat daun-daun jatuh berguguran, bukan menjadi sesuatu yang tak berharga. Sebab, mereka akan menyatu dengan tanah dan menumbuhkan wujud baru yang lebih indah dari sekedar lembaran daun-daun kering.

Wednesday 28 November 2012

Bernyanyi Bersama Bintang




Dulu, dulu sekali, seseorang pernah bilang padaku bahwa ada dua bintang yang paling terang di langit malam. Bintang itu Polaris dan Sirius. Dulu, seseorang pernah mengatakan bahwa senyumku adalah yang paling indah. Kau tahu alasannya? Katanya itu karena aku jarang tersenyum. Tapi semua itu dulu. Sekarang, tak ada lagi yang memberitahuku tentang Polaris dan Sirius, serta tak ada lagi yang menyanjung senyumku.
“Zen...” panggil seseorang di belakangku. Aku diam saja, enggan menoleh.
“Akan lebih baik kalau kamu sekarang masuk ke kamar kamu dan istirahat. Udara malam itu nggak baik untuk kesehatan kamu” tambahnya. Aku menoleh juga sambil memberikan senyum simpul.
“Kenapa sih, dok? Saya ini cuma pasien yang sakit jantung bukan narapidana” jawabku masih tetap tersenyum paksa. Dokter Farel tertegun dengan raut muka yang tak bisa ku mengerti.
“Ahh...rasanya nyaman sekali di sini. Andai saja saya bisa menikmati udara seperti ini setiap hari. Bukan di rumah sakit tentunya” keluhku lebih pada diriku sendiri.
“Zen...”
“Cuma dokter yang tidak memanggil saya dengan nama Zenitha”
“Saya akan ambilkan kursi roda” katanya lalu meninggalkanku sendirian.
Aku menghirup udara malam musim gugur ini dengan sepenuh hati. Kurentangkan tanganku, merasakan betapa damainya disini. Daun maple yang mulai memerah berguguran satu-satu diterpa angin. Chicago musim gugur memang indah. Langit cerah tak berawan. Disana, diantara jutaan bintang ada dua bintang kesayanganku. Bertengger manis memamerkan cahayanya. Polaris dan Sirius.
“Ayo, Zen. Sudah saatnya kamu masuk kamar” suara dokter Farel mengacaukan damai ku. Kuhela napas berat lalu berbalik dan duduk di kursi roda yang dibawa dokter Farel. Malam ini cukup sekian aku memandang bintang.
***
“Bagaimana keadaannya dok?” sayup-sayup ku dengar Mama bertanya pada dokter Farel di depan pintu kamarku. Hening lama. Tak ada jawaban dari dokter Farel. Lagi-lagi aku menghela napas berat. Sungguh aku tak ingin menyakiti perasaan Mama dengan penyakitku ini.
“Zen, dia... Saya tidak bisa memastikan apa dia akan baik-baik saja beberapa minggu ini. Kebocoran jantungnya semakin parah dan sampai sekarang pun belum ada donor yang cocok untuk Zen. Saya dan dokter Vincent tidak bisa mentansplatasi jantung Zen dengan jantung yang tidak benar-benar cocok. Tingkat keberhasilan tansplatasinya pun minim sekali. Tapi saya dan dokter Vincent akan berusaha sekuat yang saya bisa untuk mempertahankan  Zen” ucap dokter Farel kemudian.
Aku menangis tanpa suara di dalam kamar rawatku. Katakan padaku, bukankah wajar jika aku jarang tersenyum? Walau aku ingin, tapi apa alasan yang tepat untuk ku tersenyum?
***
Dokter Farel sedang memeriksa tekanan darahku pagi ini. Dia dokter yang tiga tahun ini menanganiku. Bahkan dia menjadi dokter pribadi keluargaku yang ikut aku dan keluargaku pindah ke Cichago hanya untuk mengawasi perkembanganku di rumah sakit yang sudah sangat modern ini.  Masih muda. 27 tahun. Berkulit putih, tinggi dan memiliki wajah yang didamba setiap wanita. Kaca matanya yang berframe coklat tua itu, dengan setia membingkai kedua mata hitam teduhnya setiap hari. Merasa kuperhatikan, dokter Farel menoleh ke arahku. Ku alihkan pandanganku ke jendela.
“Ada apa, Zen?”
“Tidak ada apa-apa, dok” jawabku masih tetap memandang ke luar jendela.
“Saya harap malam ini kamu tidak ke taman lagi. Kamu harus banyak istirahat”
“Kalau begitu katakan berapa waktu lagi yang saya punya untuk bisa melihat bintang itu lain kali. Apa saya punya kesempatan lagi besok?” tanyaku dingin sambil menatap tajam ke mata hitamnya. Mataku panas. Butir-butir bening air telah berdesakan di sudut mataku berebut ingin keluar. Dokter Farel menggenggam tanganku. Sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.
“Pasti. Pasti ada kesempatan lagi untuk kamu” katanya berpura-pura yakin. Air mataku jatuh juga. Ku palingkan wajahku dari dokter Farel. Kau, kau yang dulu mengenalkanku pada Polaris dan Sirius, betapa aku merindukanmu sekarang.
“Zen...”
“Saya mau istirahat, dok. Dokter silahkan keluar kalau sudah selesai” tukasku tanpa melihat wajahnya. Genggaman dokter Farel mengendur lalu lepas dari tanganku. Tanpa berkata apa-apa lagi dia pergi. Tangisku makin pecah.
***
Malam ini aku tetap pergi ke taman rumah sakit ini. Duduk di bangku taman di bawah pohon maple yang mulai memerah. Aku harap dokter Farel tak menggangguku lagi. Merasakan angin disini, membuatku teringat kenangan 15 tahun lalu. Ku tatap langit malam. Polaris dan Sirius masih di sana. Tapi entah kenapa, semakin sering aku melihat, semakin aku merasa berbeda dengan 14 tahun lalu. Mungkin karena dia tak ada.
“Ahhhh...duduk disini ternyata enak juga” kata seseorang yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku di bangku taman. Aku menoleh ke arah suara yang sudah sangat ku kenal itu.
“Dokter? Ngapain ke sini? Saya nggak mau balik ke kamar sekarang” sahutku ketus.
“Siapa yang mau ngajakin kamu ke kamar? Saya cuma mau nemenin kamu di sini, dan saya rasa ini bukan tempat yang terlalu buruk” jawabnya sambil tersenyum. Aku terdiam, tak tahu harus berkomentar apa.
“Zen, kenapa kamu suka sekali melihat bintang?” Aku mendongak ke atas.
“Saya cuma suka dua bintang, dok. Polaris dan Sirius, dua bintang paling terang” kataku.
“Kenapa?” kejar dokter Farel.
“Karena yang memberitahu saya tentang dua bintang itu adalah seseorang yang spesial buat saya” Dokter Farel terdiam. Hening.
“14 tahun lalu..” dan cerita lama itu terkuak kembali dengan mulutku sendiri.
14 tahun yang lalu
            Aku masih berumur 6 tahun waktu itu. Aku, Zenitha Azzura bocah kecil penyakitan yang dikurung bagai napi. Berteman dengan obat, suster dan dokter. Hingga dia datang. Pagi itu keluargaku mendapat tetangga baru pindahan dari Bali. Awalnya, aku tak peduli. Tapi, tiba-tiba dia datang mengusik hidupku yang sebelumnya tenang tanpanya.
            “Ssttt..sstt..” seorang bocah laki-laki memanggilku dari balik pintu gerbang rumahku.
            “Kamu siapa?” tanyaku.
            “Aku pemburu” katanya sambil menepuk dada.
            “Hah, pemburu?”
            “Iya, namaku Orion seperti nama rasi bintang yang artinya pemburu” jawabnya sembari tersenyum. Aku ikut tersenyum. Dia anak yang lucu.
            “Namamu siapa?” tanyanya kemudian.
            “Zenitha. Zenitha Azzura”
            “Wow! Namamu keren” pekiknya. Lagi-lagi aku tersenyum. Sejak saat itu dia jadi temanku. Teman istimewa yang hingga saat ini menempati ruang di hatiku.
            “Ayo cepat naik!” serunya malam itu, ketika dia mengajakku ke rumah pohon di halaman rumahnya. Kuberanikan diri menaiki tangga yang menggantung dari atas itu, dan akhirnya aku sampai.
            “Yep, Zenitha hebat!” aku tersenyum.
            “Zenitha cantik deh kalau tersenyum kayak Cinderella” ucapnya kemudian. Aku diam saja. “Senyum Zenitha itu senyum paling indah yang pernah aku lihat” lanjutnya.
            “Kok paling indah? Kan senyum Zenitha sama aja kayak yang lain”
            “Iya, karena Zenitha jarang tersenyum, jadi kalau senyum cantik banget” jawabnya polos. Kau tahu betapa bahagianya aku waktu itu? Bahkan orang tua ku pun tak pernah mengatakan bahwa senyumku manis.
            “Kata siapa Zenitha jarang senyum? Zenitha suka senyum kok” kilahku. Dia menggeleng.
            “Zenitha itu sering cemberut terus matanya kayak mau nangis melulu” aku ingin tertawa mendengar itu dulu.
            “Ah iya, lihat bintang itu dan yang itu” ucapnya sambil menunjukkan dua bintang yang paling terang di langit.
            “Kenapa?”
            “Yang itu namanya Polaris, nah yang itu namanya Sirius. Mereka itu bintang paling terang di langit. Nanti kalau kita jadi bintang, aku jadi Sirius dan kamu jadi Polaris. Kita akan jadi bintang yang paling bercahaya di langit” katanya dengan semangat.
            “Emang kapan kita jadi bintang?”
            “Nanti, kalau kita sudah meninggal. Kata temanku orang yang sudah mati akan jadi bintang” jawaban yang walau aku tahu itu bohong tapi tetap ku percaya.
            “Tapi kalau kita matinya enggak barengan gimana?”
            “Kalau aku mati duluan, kamu lihat dua bintang itu aja, pasti akan ada aku disitu. Kalau kamu mati duluan aku akan ngelakuin hal yang sama” jawabnya lugu. Ya...kami belum tahu apa artinya hidup dan mati saat itu.
            “Kalau aku mati duluan, kamu akan datang ke rumah ku enggak?” tanyaku
            “Ya iyalah. Pasti. Aku kan mau lihat kamu jadi bintang. Tapi sebelum kamu mati aku akan jagain kamu biar nanti kalau kamu jadi bintang, kamu jadi bintang Polaris yang bagus” jawabnya sambil tersenyum. Jawaban yang menurutku adalah sebuah janji. Sebuah janji yang sampai sekarang masih aku inginkan untuk dia tepati.
            ***
            Aku menghela napas kembali. Menyudahi ceritaku dengan hati perih. Dokter Farel masih duduk di sampingku.
            “Sekarang, dia kemana?”
            “Disana” kataku sambil menunjuk Sirius. Dokter Farel terdiam lagi. Air mataku meleleh tak tertahan.
            “Paginya setelah kami melihat bintang malam itu, dia kembali ke Bali dan pesawat yang ditumpanginya jatuh. Dia pergi. Bukan hanya ke Bali, tapi ke alam lain yang tak bisa saya jamah” jawabku sambil terisak.
            “Kamu mencintainya?” tanya dokter Farel.
            “Saya nggak tahu, dok. Yang saya tahu saya selalu merindukannya selama 14 tahun ini. Dia yang pertama kali menjadikan hidup saya lebih berwarna. Dia yang pertama kali mengajari saya bahwa di luar sana masih banyak hal indah selain rumah, obat dan dokter” aku tertunduk. Menangisi diriku sendiri.
            Dokter Farel merengkuh bahuku. Di sandarkannya kepalaku di bahunya. Hangat. Dengan tangan satunya, dia mengusap air mataku. Aku diam saja tak berusaha melawan, karena aku nyaman di dekatnya.
            “Kamu tahu Zen, bukan cuma Polaris dan Sirius bintang yang paling terang. Di galaksi lain banyak bintang yang lebih terang”
            “Tapi mereka tak terlihat”
            “Itu karena kamu selalu melihat Sirius dan Polaris. Lihatlah yang lain, kamu akan menemukan yang lebih terang dan indah”
            “Tapi letak mereka jauh, dok. Dan kita ada di Milky Way bukan galaksi lain”
            “Kalau begitu lihat dengan teropong bintang. Tapi kamu juga tidak akan melihat bintang lain dengan teropong itu jika kamu arahkan dia ke Sirius atau Polaris. Arahkan dia ke tempat lain. Ke tempat yang tak pernah kamu lihat selama ini” ucap dokter Farel lembut. Aku mengangkat keepalaku dari bahu dokter Farel.
            “Sebenarnya apa maksud perkataan dokter?” tanyaku. Mata hitam di balik kaca mata itu menatapku dalam.
            “Lihatlah orang lain, Zen. Masih banyak orang yang menyayangimu selain Orion. Masih banyak cerita indah selain kenanganmu dengan Orion. Karena selama ini kamu terus mengingatnya tanpa membuka hatimu untuk yang lain. Bukankah bintang tak hanya Sirius dan Polaris? Bukan hanya Orion yang peduli terhadapmu. Masih banyak orang yang peduli denganmu tapi kamu tak mau peduli bahwa mereka peduli”
            “Lalu katakan siapa yang peduli dan menyayangi saya selain Mama Papa saya? Saya nggak punya teman dok. Hidup saya hanya untuk berobat agar jantung saya ini tetap bertahan. Lalu siapa yang mau peduli dengan orang penyakitan seperti saya? Orang yang bahkan bertahan satu tahun di sekolah umum pun tidak bisa” aku makin terisak. Dokter Farel meraih tanganku.
            “Saya. Saya orang yang sayang dan peduli dengan kamu selain orang tua kamu. Saya cinta sama kamu, jadi jangan hanya memandang Sirius atau Polaris, lihatlah bintang yang lain juga. Lihatlah cahaya lain yang mungkin bisa membuatmu lebih indah. Karena bagi saya kamu itu orang yang paling istimewa dan paling berarti. Maka jadilah bintang yang bersinar terang walau di puncak langit, seperti namamu, Zenitha Azzura, puncak tertinggi di langit biru. Tersenyumlah Zen, jangan selalu berada dalam bayang-bayang masa lalu ” tukasnya pelan namun tegas. Aku menatap matanya. Mata yang begitu teduh dan mendamaikan.
            “Sudah saatnya kamu kembali ke kamar” perintahnya lalu mendudukkanku di kursi roda. Sampai di kamar, dia membaringkanku di tempat tidur dan menyelimutiku.
            “Dokter” panggilku saat dia hendak pergi dari kamarku. Dia menoleh ke belakang.
            “Ya”
            “Terima kasih, telah mau menjadi bintang lain untuk saya” kataku lirih. Dia tersenyum lebar.
            “Ya, istirahatlah. Mimpilah bernyanyi bersama bintang-bintang bukan hanya dengan Sirius dan Polaris”
            “Jika besok saya tidak bisa bertahan?”
            “Bukan kamu yang menentukan. Ada Tuhan di atas kuasa kita. Good Night Zen, have a nice dream” katanya sambil tersenyum lebar dan indah.
            ***
            Aku disini. Terbang dan bernyanyi bersama bintang-bintang. Ternyata masih banyak bintang yang lebih indah dari Sirius dan Polaris seperti kata dokter Farel. Aku disini. Terbang sambil bernyanyi bersama bintang. Menyanyikan kidung kesedihan dalam senyum. Di bawah sana, jauh di bumi, kulihat banyak orang berkerumun di atas makamku.
            Mama dan Papa menangis sambil berpelukan. Maaf Mama, Papa, aku tak bisa bertahan demi kalian. Masih ada kuasa Tuhan di atas kita. Dan di sana, berjongkok sambil meletakkan bouqet lili putih di atas makamku, dokter Farel meneteskan air mata dari matanya yang hitam mendamaikan.
            Aku juga menyanyangimu dokter Farel. Maaf tak mampu ku ucap kata-kata itu dari dulu. Semoga suatu hari nanti kau mendengarnya dari nyanyian ku bersama bintang yang dibawa oleh semilir lembut angin musim gugur.

End

Thursday 22 November 2012

Bahagia Itu Sederhana



Setiap orang pasti ingin bahagia. Dan konteks bahagia setiap orang pasti berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahagia itu jika punya banyak uang. Ada juga yang mengatakan bahwa bahagia itu ketika kita punya profesi yang bonafit dengan gaji besar. Atau ada juga yang bilang kalau bahagia itu ketika kita jatuh cinta.
Bahagia yang sederhana itu adalah bahagia ketika kita bisa tersenyum tanpa terpaksa. Ketika kita bisa melihat keluarga kita setiap bangun tidur. Ketika seseorang berkata “terima kasih ya” pada kita. Ketika kita berkata “aku bisa bantu kamu kok” pada orang lain. Ketika kita berkumpul bersama teman dan berbicara “ngalor-ngidul” gak jelas. Ketika kita mendengar “ibu masak ini buat kamu lho” dari ibu kita. Ketika kita mendengar “hati-hati ya kalau kuliah” dari ayah kita yang jarang menghabiskan waktu bersama kita. Ketika mendengar “hore kakak pulang” dari mulut mungil adik kecil kita. Ketika seseorang yang kita suka tersenyum pada kita dan berkata “apa kabar?”.  
Bahagia itu sederhana, yaitu saat kita bisa membuat orang lain tersenyum dengan ikhlas. Saat kita bisa diam sejenak menikmati indahnya alam. Dan masih banyak lagi kebahagiaan sederhana yang lain. Kebahagiaan yang tak kita sadari bahwa pernah merasakannya sekali saja, itu sudah bisa dibilang anugerah.
Terkadang kita terlalu mematok standar yang cukup tinggi untuk kebahagiaan kita. Padahal tanpa kita sadari hal-hal kecil yang sudah biasa kita lihat dan dapatkan itu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang tak membutuhkan apapun kecuali rasa bahagia itu sendiri.
Kebahagiaan sederhana itu akan selalu muncul kapanpun dan dimanapun kita. Kebahagiaan sederhana itu tak butuh sesuatu yang “fabulous” tapi hanya butuh sesuatu yang sering kita lupakan yang kemudian kita sadari keberadaannya.
Bahagia itu sederhana, sesederhana bahagiaku ketika aku mengetik tulisan ini.
So... apa kebahagiaan sederhana mu hari ini?